Senin, 20 Juni 2011

Budaya K3 dan Performansi K3

 
Paper Kajian Teori
Budaya K3 dan Performansi K3
(sebagai bahan adaptasi dalam pendidikan teknologi dan kejuruan)

Intisari
            Trend pendidikan kejuruan dan teknologi dewasa ini sudah bergeser menjadi pabrik kecil di lingkungan sekolah. Contoh yang sudah berhasil adalah ATMI dan STM Mikail Surakarta serta beberapa SMK atau Politeknik unggulan lainnya. Konsekuensinya adalah penerapan K3 secara total di SMK seperti halnya di industri dan dunia usaha.
            Kurikulum SMK telah memiliki spektrum mata diklat yang terkait dengan pendidikan kesehatan dan keselamatan kerja. Kata pendidikan dalam hal ini lebih dimaknai sebagai pembudayaan K3, karena lulusan SMK ujungnya adalah menjadi pekerja professional di Industri. Profesional berarti adalah memiliki produktivitas dan keunggulan performansi, yang tentu saja harus sehat dan selamat terlebih dahulu. Materi kajian dalam paper ini meliputi iklim K3 dengan komponennya, budaya K3, dan terutama performansi K3. Performansi inilah yang sering dijadikan ukuran prestasi dalam penerapan manajemen K3, walaupun untuk budaya K3 sedikit agak berbeda.
            Paper di bawah ini adalah kajian konsep dan teori sebagai bahan rujukan, adopsi  dan adaptasi lebih lanjut dalam rangka mempersiapkan pembudayaan K3 di SMK, yang diambil dari aplikasi industri dan kesehatan, karena di pendidikan belum banyak diteliti. Paper  ini dapat digunakan untuk kajian penelitian serta pengembangan kurikulum, silabi, model proses belajar mengajar, dan terutama pengembangan sdm melalui pembudayaan K3 di pendidikan teknologi kejuruan di Indonesia. Akhirnya, SMK akan bisa apa, jika siswa atau guru-gurunya tidak sehat dan selamat.

A.     Pendahuluan
Praktek kerja sehari-hari dalam pendidikan teknologi dan kejuruan di Indonesia, dapat dikategorikan memiliki resiko tinggi bagi  kesehatan dan keselamatan (K3) para guru, siswa, dan teknisi, yang selanjutnya dapat berdampak terhadap masyarakat sekitar termasuk pengunjung. Potensi sumber bahaya di pendidikan teknologi dan kejuruan yang mengancam tersebut antara lain adalah  terpapar radiasi, kimia, biologi,  infeksi, alergi, listrik, dan fisik seperti terkilir (muscoletal trauma disorder, low back-paint), terpeleset, terjatuh, tergores, tertusuk, dan terbentur, ergantung jenis kegiatan praktek yang diselenggarakan. Selain itu termasuk berbagai hal (situasi, dan kondisi) yang dapat menyebabkan timbulnya kesalahan atau kelalaian (nearmiss,human error) selama bekerja (Ima Ismara,2009; Rosenstock & Lipsocomb, 1997; Yusri dan Situmorang,2000; NIOSH,2002; Astrid Sulistomo,2002; Sofyan, Akhadi, dan Suyati,2002; Sholihah dan Qomariyatus, 2004; Hasyim,2005; Perwitasari dan Anwar,2006; Erna Tresnaningsih, 2006; Sri Sugiharti,2007).
Praktek kerja di pendidikan teknologi dan kejuruan yang penuh resiko kecelakaan tersebut, akan menjadi potensi tersembunyi berupa ancaman kerugian dari berbagai sisi. Terutama terkait dengan finansial, serta berkurangnya tingkat produktivitas, dan kepercayaan pelanggan, timbulnya gugatan pelanggan, sampai penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Kelipatan dari terjadinya situasi kondisi tidak aman (unsafe condition) tersebut di atas, seperti halnya gunung es, dimana dampak lanjutan yang tak segera nampak, akan lebih besar dan tak terukur.
Sebagai inspirasi dari dunia industri, yaitu tingginya beaya yang akan ditanggung bila terjadi kecelakaan kerja, telah membuat organisasi mengembangkan program bagaimana mencegah  dan mereduksi resiko potensi sumber bahaya. Antara lain diantisipasi dengan menggunakan berbagai intervensi teknologi, termasuk alat atau bahan pelindung diri, sistem kontrol dan otomasi serta robotik, didukung dengan berbagai prosedur terstandar dan sistem manajemen K3, agar dapat mempengaruhi perilaku K3. Ternyata hal tersebut, bukan lagi solusi tepat, dan belum dapat mencukupi kebutuhan ke dua Maslow yaitu safety (K3), jika masih banyak terjadi keengganan, kelalaian atau ketidak disiplinan dalam penerapannya, karena tidak diikuti dengan adanya intensi serta motivasi untuk berperilaku sehat dan selamat, yang terungkap sebagai performansi K3.
Smallman and John (2001) menemukan bahwa penerapan budaya K3 merupakan konsep penting yang berdampak positif bagi pelayanan pelanggan (siswa calon pekerja),  berarti akan menjadi keuntungan dan reputasi tersendiri bagi organisasi atau industri. Pendidikan teknologi dan kejuruan ideal dan dapat dijadikan unggulan jika telah memiliki performansi K3  (safety performance) yang baik, yaitu  telah mampu mengendalikan, memproteksi, mereduksi, mengeliminasi, atau mengisolasi semua resiko dari paparan potensi sumber bahaya tersebut di atas.
Performansi K3 pendidikan teknologi dan kejuruan dapat diukur dari tingkat usaha (task dan contextual) untuk menekan adanya resiko dari paparan potensi sumber bahaya yang dapat menimbulkan kondisi ketidakamanan  bagi siswa calon pekerja selama kurun waktu tertentu, termasuk dalam hal ini kesalahan dan kelalaian atau  kecelakaan misalnya error, near miss, injury, accident and incident (Hall.2006; Ferraro.2002; Francis et.all.2004; dan Humaideh,2004).
Griffin, and Hart, (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa performansi K3 di pendidikan teknologi dan kejuruan dipengaruhi secara langsung oleh iklim atau budaya K3 (safety climate or safety culture). Rendahnya budaya K3 memiliki kontribusi positif terhadap timbulnya kesalahan dalam pelayanan pendidikan, proses belajar mengajar  yang tidak aman, dan terjadinya berbagai kecelakaan lain yang tak terduga, demikian diadopsi menurut hasil paper Humaideh (2004). Sebaliknya, Gershon et.all.(2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa saat  budaya K3 menguat, maka akan mengakibatkan meningkatnya performansi K3. Begitu pula Glendon and Litherland (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa iklim K3 mempengaruhi performansi K3 secara aktual. Performansi K3 dalam hal ini terdiri dari performansi tugas dan kontekstual (Ferraro,2002), yang dimoderatori oleh pemahaman terhadap prosedur dan  kesediaan (attention to follow safety procedure) yang merupakan bagian dari intensi (niatan) mengikuti serta selanjutnya berperilaku untuk meningkatkan pelaksanaan peraturan K3 dalam rangka mengendalikan sumber potensi bahaya tersebut di atas.
Diadopsi menurut Humaideh (2004), permasalahan yang paling penting adalah membangun budaya (safety culture) atas dasar iklim K3 (safety climate) di lingkungan kerja yang dapat memberi kepastian untuk mendukung dan selalu mempromosikan perilaku pencegahan kecelakaan setiap saat bekerja di pendidikan teknologi dan kejuruan. Permasalahan yang lebih spesifik lagi adalah mengembangkan bagaimana intensi dan motivasi untuk dapat berperilaku sehat dan selamat, berupa  performansi dalam kegiatan pokok K3 (safety task performance) dan pendukung yang terkait K3 (safety contextual  performance) dalam proses belajar mengajar di pendidikan teknologi dan kejuruan.
Budaya dan iklim K3 merupakan konsep teori yang sudah banyak diterapkan di berbagai industri, kesehatan, nuklir dan penerbangan,  dewasa ini mulai diadopsi untuk peningkatan performansi K3 dalam pelayanan pendidikan, khususnya di pendidikan teknologi dan kejuruan. Budaya K3 merupakan kombinasi dari attitude, beliefs, norms, dan persepsi dari para siswa calon pekerja organisasi tertentu yang terkait dengan iklim K3, serta perilaku sehat dan selamat secara praktis (Dula.2006; Clarke.2000). Definisi yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan pendapat Cooper (2000) yang yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa budaya K3 merupakan bagian dari budaya organisasi yang dipengaruhi oleh sikap (attitudes) dan niai-nilai yang diyakini (beliefs) dari setiap anggotanya dalam kerangka performansi K3 (health and safety performance). Lebih lanjut Cooper (2004) memperjelas bahwa istilah budaya K3 (safety culture) mengacu kepada aspek perilaku (behavioral aspect) yang merujuk kepada norma kelompok, misalnya sikap dan tindakan apa yang dilakukan secara kelompok, serta aspek situasional (situational aspect) seperti halnya apa yang dimiliki atau difasilitasi oleh organisasi. Diadopsi menurut Cooper (2004) penggunaan istilah iklim K3 (safety climate) cenderung merujuk kepada karakteristik kepribadian dari siswa calon pekerja, seperti apa yang dipikirkan orang terkait dengan K3 dalam suatu organisasi, termasuk dalam hal ini adalah sikap dan perilaku individual. Konsep ini disempurnakan dengan mengadaptasi teori planed behavioral (Ajzen,1991), oleh Fogarty & Shaw (2004) dan dilanjutkan Hall (2006), walaupun  masih perlu banyak dikaji ulang dengan seting organisasi yang berbeda (Hall, 2006).
Profil tersebut meliputi persepsi tentang sikap dan komitmen pengurus sekolah terhadap K3, sistem K3, faktor risiko,  kemampuan (kompetensi) bertindak untuk mengatasi kondisi tak aman, tekanan lingkungan kerja, dan norma kelompok, dimoderatori oleh intensi yang terdiri dari pemahaman dan  kesediaan serta motivasi untuk selamat dan nyaman, dari  perilaku seseorang untuk mengikuti prosedur kesehatan dan keselamatan kerja (K3), dengan model Hall (2006) yang dikembangkan berdasarkan  teori Planed behavior dari Ajzen (1991) oleh Fogarty & Shaw (2004). Perilaku K3 berupa performansi tugas, dan kontekstual dalam rangka mengendalikan berbagai potensi sumber bahaya beresiko tinggi yang ada di pendidikan teknologi dan kejuruan, berdasarkan model Griffin and Neal (2000) diadaptasi dari teori performansi Borman dan Motowidlo (1993) yang kemudian dikembangkan oleh Ferraro (2002).
Berbagai penemuan menunjukkan bahwa proporsi terbesar dalam terjadinya kecelakaan, dan kesalahan diawali dari perilaku yang tak aman sebagai hasil dari kurang efisiennya manajemen K3. Ketika peraturan K3 tidak lagi diindahkan, maka akan terjadi kecelakaan yang disebabkan oleh perilaku yang riskan (Griffin & Neal, 2000; Hagan et al.,2001). Penyebabnya dapat dari ke dua sisi, yaitu individu (sikap terhadap K3) dan organisasi (kebijakan dan prosedur terkait dengan K3), selanjutnya timbul anggapan bahwa kecelakaan yang terjadi bukan lagi dapat disebabkan oleh perilaku individu yang beresiko tersebut, tetapi oleh sistem yang lain, termasuk pengurus sekolah dan sistem manajemen K3 (Griffin & Neal, 2000).
Diadopsi menurut Geller (2000) hal tersebut disebabkan oleh kekurangpengertian atau kurang pemahaman terhadap perilaku yang berdasarkan K3 (behavior-based safety), yang meliputi proses pengambilan keputusan untuk bertindak selamat, dalam hal ini berdasarkan aspek psikososial berupa budaya dan iklim K3 (safety cclimate and safety culture). Terkait dengan hal tersebut, keberhasilan pengembangan budaya K3 sangat tergantung kepada kepemimpinan, komunikasi yang baik tentang isu-isu K3, atau komitmen manajemen terhadap  K3  yang dipahami secara jelas oleh semua siswa calon pekerja (Dyer, 2001). Diadopsi menurut Hagan et. al. (2001), perilaku K3 pengurus sekolah sebaiknya sesuai dengan persepsi siswa calon pekerja tentang  program K3 yang telah diyakini, jika tidak ingin kehilangan perilaku yang bertanggungjawab terhadap tindakan yang berorientasi K3 (safety act responsibility), untuk itu perlu lebih difokuskan kepada nilai-nilai organisasi yang mampu mengantisipasi resiko kecelakaan, krisis manajemen K3 dan performansi K3 dalam kondisi yang penuh potensi sumber bahaya.

A.     Budaya dan iklim K3
Istilah budaya K3 (safety culture) diangkat pertama kali oleh IAEA (the International Atomic Energy Agency), atas dasar hasil analisis bencana reaktor nuklir di Chernobyl. Selanjutnya berdasarkan analisis kecelakaan kerja dan bencana di berbagai industri menunjukkan bahwa penyebab utamanya bukanlah ketersediaan peralatan K3, atau peraturan dan prosedur K3 dalam manajemen K3, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh budaya dan iklim K3 dalam organisasi (Ferraro,2002; Gadd and Collins,2002).
Diadopsi menurut Blair (2003) dan Clarke (1999),  konsep budaya K3 merupakan bagian dari budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan kombinasi dari perilaku, sikap, persepsi, dan keluarannya berupa performansi, yang dapat menggerakan roda organisasi. Budaya K3 merupakan penjelmaan dari perilaku, sikap, dan nilai secara bersama untuk mencapai derajad performansi sehat dan selamat, yang dipahami dan dijadikan  prioritas utama dalam suatu organisasi (Blair, 2003; Cooper, 2002; DePasquale & Geller, 1999). Budaya K3 merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para siswa calon pekerja dalam sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3, perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi (Clarke, 2000). Definisi yang senada dikeluarkan oleh  The Advisory Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI,1993) yang yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa  budaya K3 dalam suatu organisasi adalah produk nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola-pola perilaku dari individu dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap K3.
Dasar utama dari budaya K3 adalah sikap dan persepsi terhadap K3 (Gadd and Collins,2002).  Turner, (1994) mendefinisikan sama seperti tersebut di atas, namun secara sosial dan teknis praktis budaya K3 ditujukan untuk meminimalkan paparan potensi sumber resiko bahaya bagi kepala sekolah, siswa calon pekerja, pelanggan dan semua masyarakat sekitar. Konsep utama dari budaya K3 adalah pentingnya pemahaman bersama,  didukung oleh persepsi yang homogen tentang K3 dalam suatu organisasi, walaupun pasti terdapat perbedaan persepsi dari seluruh level hirarki dalam suatu organisasi. (Bailey & Petersen, 1989; Blair,2003; Brown et al., 2000; Carder & Ragan, 2003; DePasquale & Geller, 1999; Flin et al.,2000; Williamson, Feyer, Cairns, & Biancotti, 1997).
Peningkatan pemahaman terhadap K3 di tempat kerja dapat melalui pembandingan persepsi siswa calon pekerja terhadap pengurus sekolah, di mana sebenarnya standard dan aturan yang relevan akan membantu pengurus sekolah untuk memberi arahan secara persuasive tentang faktor praktek kerja yang beresiko kecelakaan (Brown et al.2000). Performansi K3 dapat menjadi lebih baik, karena  diawali dari persepsi yang tepat tentang perilaku selamat terkait dengan faktor  kerja yang beresiko kecelakaan tersebut. Siswa calon pekerja yang memiliki persepsi bahwa program K3 tidak akan efektif atau bahwa pengurus sekolah kurang  memiliki perhatian terhadap K3, maka cenderung untuk berperilaku tidak mengikuti semua prosedur, apalagi meningkatkan peformansi K3 (Hagan, Montgomery, & O'Reilly, 2001).
Budaya K3 yang positif diadopsi menurut O'Toole (2002) nampak dalam semua level hirarki organisasi, merupakan refleksi dari hubungan antara persepsi siswa calon pekerja dan komitmen pihak manajemen (pengurus sekolah) terhadap K3, karena tanggung jawab utama kepala sekolah adalah produktivitas yang didukung oleh  K3  bagi kesemuanya. Karakeristik organisasi yang berbudaya K3 positif antara lain adalah adanya komunikasi yang penuh saling kepercayaan, memiliki persepsi bersama tentang pentingnya K3 berdasarkan  rasa keyakinan diri terhadap usaha pencegahan kecelakaan kerja yang terukur.  Hal tersebut berdampak nyata terhadap bagaimana mensikapi stress kerja, rasa bersalah, kelelahan, kejenuhan, dan kebosanan, dengan dukungan jajaran manajemen yang tetap mengutamakan K3 (Wong 2003). Termasuk bagaimana sikap, keyakinan, dan persepsi secara kelompok dalam menjabarkan norma-norma dan nilai-nilai  agar dapat bereaksi dan bertindak atau berperilaku untuk mengontrol adanya resiko dari sumber bahaya (Hale,2000; Lee and Harrison,2000).
Budaya K3 (safety culture) yang meliputi persepsi, asumsi, nilai, norma dan keyakinan para siswa calon pekerja, dianggap lebih bersifat global dari pada iklim K3 (safety climate). Diadopsi menurut Shadur dkk. (1999) budaya K3 bersifat melekat kepada kelompok dalam suatu organisasi, dan  lebih sulit diukur dari pada iklim K3, yang merupakan indikator permukaan dari kultur yang lebih mudah dimengerti. Guldenmund (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa iklim K3 cenderung berdasarkan sikap seseorang terhadap K3 dalam suatu organisasi, sedangkan budaya K3 lebih menekankan kepada keyakinan dan kepastian terhadap sikap-sikap yang berdasarkan nilai-nilai dalam kelompok sosial.
Terdapat tiga komponen utama budaya K3 yaitu bersifat psikologis, situasional, dan perilaku, yang dapat diukur baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif (Cooper, 2000). Aspek situasional dapat diketahui melalui tataran organisasional misalnya kebijakan, aturan, prosedur, sistem manajemen dan kepemimpinan. Komponen perilaku dapat diketahui dengan mengukur melalui pelaporan diri (self report), kecenderungan untuk berperilaku dan observasi terhadap perilaku langsung. Kadangkala perilaku diukur melalui rata-rata terjadinya kecelakaan yang dianggap sebagai performansi K3, walaupun dianggap kurang pas dibandingkan dengan perilaku aktual, sehingga hanya sebagai sampel dari kondisi sesaat saja.
Komponen psikologis secara umum dapat diketahui melalui angket iklim K3, yang akan mengukur norma, nilai, sikap, dan persepsi siswa calon pekerja terhadap K3. Hasil survey terhadap iklim K3 menghasilkan gambaran sesaat secara individual, yang jika dikumpulkan sampai pada tingkat kelompok atau organisasi, maka cenderung dapat digunakan untuk mengukur budaya K3 seperti apa yang diungkapkan oleh Hall (2006). Defisinisi budaya K3 cenderung untuk dipusatkan pada bagaimana siswa calon pekerja berpikir dan bersikap dari pada  bertindak. Seperti halnya sikap, persepsi dan keyakinan terhadap berbagai sisi K3, melalui pengukuran iklim K3 (Lee and Harrison.2000).
Konsep budaya K3 lebih luas dari pada iklim K3. Istilah iklim keselamatan diadopsi menurut Clisoid (2004) dan Hale (2000) merujuk kepada persepsi terhadap kebijakan, prosedur, dan penerapannya terkait dengan K3 di tempat kerja. Istilah budaya K3 di sisi lain, merujuk kepada sikap (attitude), keyakinan (belief), dan persepsi dalam kelompok tentang norma dan nilai bersama, dalam rangka bagaimana bereaksi terhadap resiko (risk) dan sistem kontrol resiko.
Budaya K3 secara tidak langsung dapat diketahui melalui iklim K3 dalam organisasi dengan cara mengukur sikap-sikap siswa calon pekerja terhadap K3 dan persepsi mereka tentang potensi sumber bahaya di tempat kerja (Flin et al.,2000; Guldenmund,2000). Iklim K3 merupakan refleksi sesaat (snap shot) dari budaya K3 (Geller,2000). Para profesionalis K3 menggunakan iklim K3 untuk mengetahui budaya K3 sesaat melalui sikap selama penerapan program K3, karena biasanya sikap sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja (Cheyne et al.,1998). Selanjutnya iklim K3 dapat dianggap sebagai pengukur atau indikator budaya K3 melalui sikap dan perilaku anggota organisasi dalam waktu tertentu (Dedobbeleer & Beland,1991; Flin et al.,2000).
Iklim K3 dipahami sebagai konsep yang memiliki orde pertama dan orde yang lebih tinggi (Griffin and Neal,2000). Orde pertama meliputi  refleksi persepsi dari hubungan antara K3 dengan kebijakan, prosedur, dan hadiah, sedangkan orde yang lebih tinggi meliputi bagaimana siswa calon pekerja dapat mempercayai bahwa K3 telah menjadi nilai utama dalam organisasi.  Iklim K3 merupakan hasil penjumlahan nilai dari item sikap dan perilaku K3 dari siswa calon pekerja dan pengurus sekolah. Survei terhadap iklim K3 akan dapat mengukur dengan lebih baik terhadap performansi K3, yang dalam hal ini untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Paper tentang iklim K3 dilakukan dengan mengobservasi informasi, atas dasar sikap dan persepsi siswa calon pekerja terhadap K3 sebagai anggota suatu organisasi (Niskanen, 1994; Williamson et al.,1997).
Pengukuran terhadap iklim K3 menggunakan instrument yang dapat mencatat persepsi-persepsi tentang isu-isu K3 dari individu sebagai sampel. Diadopsi menurut Guldenmund (2000) dan Cooper (2000), pengukuran iklim K3 yang biasa digunakan adalah dengan menggunakan angket melalui administrasi pelaporan diri (self administered) dengan pendekatan survey. Secara umum digunakan untuk mengungkapkan persepsi siswa calon pekerja, sikap, nilai, dan keyakinan terhadap K3, terkait dengan budaya dan iklim K3. Griffin and Neal (2000) menyarankan hanya persepsi dan asesmen tentang atribut di tempat kerja yang dapat diukur sebagai bagian dari iklim K3. Umumnya paper tentang iklim K3  sering  menggunakan pelaporan diri untuk mengukur perilaku K3 (Cheyne et al., 1998; Griffin & Neal, 2000; Hayes, et al., 1998; Mearns et al., 1997; Neal et al., 2000)  yang memungkinkan dapat menimbulkan bias, karena adanya kecenderungan merasa untuk  merespon bagaimana yang seharusnya, dari pada menyampaikan fakta yang sesungguhnya. Sehingga survey tentang keyakinan orang belum tentu dapat memprediksi perilaku yang sesungguhnya (Cooper, 2000).
Iklim K3 memiliki kontribusi yang jelas terhadap budaya K3 organisasi melalui sikap (attitudes) yang diekspresikan dalam perilaku K3 (safety behaviors) setiap siswa calon pekerja, diketahui dari tindakan yang berorientasi tugas pokok terkait K3 dan kegiatan pendukung untuk meningkatkan K3 pada umumnya (Mearns et al.,2001). Mearns and Flin (1999) menjelaskan bahwa iklim K3 sebaiknya dipahami sebagai persepsi dan keyakinan yang terkait dengan bagaimana K3 dapat dikelola dengan lebih baik, merupakan cuplikan sesaat K3 dalam arti luas di organisasi, yang diukur dengan pendekatan survey melalui angket kuantitatif. Sedangkan budaya K3 dapat dipahami sebagai karakteristik yang lebih komplek dan berjangka panjang yang mengungkapkan norma dan asumsi K3 dalam organisasi, biasanya diukur dengan pendekatan teknik kualitatif untuk dapat memahami secara mendalam bagaimana interaksi individu dalam organisasi untuk membentuk cara pandang bersama terhadap  K3 (Ferraro,2002). Berdasarkan kajian di atas, iklim K3 dan budaya K3 dapat diibaratkan sebagai dua sisi dalam satu mata uang.
B.     Dimensi Iklim K3
Definisi operasional iklim K3 dalam paper ini merujuk pendapat  Hall (2006), Humaideh (2004), Cooper (2004) dan Ferraro (2002), yaitu merupakan kumpulan dari sikap dan perilaku yang terkait dengan K3 pada saat tertentu. Dimana berdasarkan pendapat Flin et.al.(2000), dan Guldenmund (2000) mengidentifikasikan dimensi iklim K3 yang terdiri dari variabel Manager/ Supervisor attitude toward safety (komitmen pengurus sekolah);  Risk (resiko);  Group Norms (norma kelompok); Workplace Pressure (tekanan tempat kerja); Competence (kompetensi); Safety Sistem (sistem manajemen K3); dan  Intention to follow safety Procedures (niatan mengikuti peraturan) yang merupakan adaptasi dari the theory of planned behavior seperti tersebut di atas (Hall,2006). Secara operasional dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.      Komitment manajemen
Flin et al. (2000) menemukan tema utama berupa komitmen pihak pengurus sekolah atau manajemer dan supervisor K3 dari review terhadap 17 paper.  Selanjutnya aspek komitmen  manajemen K3 dalam hal ini meliputi persepsi dari sikap dan perilaku manajemen dalam kerangka K3 dan proses produksi. (Hofmann & Morgeson.1999; Zohar.2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa kepemimpinan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk iklim K3 di organisasi, dan memotivasi siswa calon pekerja agar mampu melakukan tugasnya dengan sehat dan selamat, berarti memiliki performansi K3 yang baik. Ternyata pengurangan angka kecelakaan juga dapat dihasilkan oleh persepsi yang positif terhadap komitmen manajemen atau pemimpin terhadap K3 (O’Toole 2002). 
Pidgeon & O’Leary (2000) menjelaskan bahwa budaya K3 yang baik terungkap dan dipromosikan oleh komitmen manajemen senior, tradisi fleksibel dan realistik dalam menangani potensi sumber bahaya yang telah didefinisikan dengan jelas, proses belajar yang kontinyu dan praktis atas dasar sistem umpan balik, sistem monitoring dan analisis yang mantap, serta perhatian bersama terhadap sumber potensi bahaya.
Mearns et.al.(2001) menguji adanya hubungan antara persepsi siswa calon pekerja, sikap, dan perilaku di tahun pertama dengan menggunakan laporan diri terkait berbagai kecelakaan dari tahun ke dua. Dimana ditemukan bahwa persepsi siswa calon pekerja terhadap komitmen manajemen dan kompetensi supervisor berhubungan positif dengan niatan untuk melaporkan kecelakaan dan kesalahan yang terjadi. 
Flin et.al,(2000) lebih memfokuskan kepada kepuasan terhadap proses supervisi, persepsi terhadap komitmen supervisor tentang K3, serta persepsi terhadap sikap dan perilaku supervisor tentang K3. Thompson et al. (1998) menemukan bahwa kepala sekolah mendorong timbulnya perilaku K3 melalui komunikasi yang intensif penuh perhatian, sedangkan supervisor cenderung melalui bagaimana berinteraksi secara  langsung dengan siswa calon pekerja. Ternyata peran penting antara kepala sekolah dan supervisor memiliki cara yang berbeda dalam mempengaruhi budaya K3. Masing-masing level manajemen memiliki peran, tugas dan fungsi yang berbeda. Misalnya dukungan pengurus sekolah dalam K3 terbatas pada pembuatan aturan, prosedur, dan sistem pendukung produksi, sedangkan supervisor merupakan jembatan terhadap siswa calon pekerja, yang akan mengawasi dan  memberi umpan balik terkait dengan perilaku yang berorientasikan K3 dalam bekerja (Flin &Yule.2004).
Clarke (1998) melakukan paper terhadap supir, supervisor, dan kepala sekolah  kereta api di Inggris, ternyata komitment dari pihak manajemen telah mampu mendorong munculnya inisiatif K3 dengan sukses. Marsh et al. (1998) menemukan bahwa intervensi perilaku K3 sangat ditentukan oleh komitmen manajemen. Cox et.al.(1998) menemukan dari paper pada  industri di Inggris, bahwa pengaruh komitmen siswa calon pekerja terhadap K3 sangat ditentukan oleh bagaimana siswa calon pekerja tersebut mempersepsikan tindakan manajemen yang komit terhadap K3. Cheyne et al. (1998) menemukan bahwa komitmen manajemen merupakan kunci terhadap prediksi adanya perilaku K3, sedangkan  Griffin and Neal (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa komitmen manajemen sebagai kunci terhadap iklim K3 dalam sebuah organisasi. Sawacha et.al.(1999) menemukan bahwa sikap top manajemen terhadap K3 menjadi faktor yang signifikan terhadap perilaku pelaporan kejadian kecelakaan. 
Peterson (1993) menyebutkan bahwa top manajemen mengharapkan K3 menjadi kunci utama dalam organisasi, tetapi terdapat hambatan dari kepala sekolah menengah yang cenderung enggan berubah, selain itu sering bertentangan dengan pengurangan biaya, peningkatan produktivitas, dan pengurangan ukuran, atau peningkatan efisiensi dan efektivitas di segala lini produksi.
Banyak paper yang menemukan bahwa sesungguhnya para kepala sekolah hanya sedikit yang memikirkan tentang K3 (Smallman, 2001). Review terhadap beberapa paper iklim K3 menunjukkan bahwa persepsi siswa calon pekerja tentang sikap manajemen terhadap K3 dan produksi merupakan landasan utuk mengukur iklim organisasi terkait dengan K3. Mearns et al. (2001) menemukan bahwa persepsi tentang komitmen manajemen sangat penting, terkait dengan pendapat bahwa jika perlu proses produksi harus dihentikan dengan alasan K3.  Secara menyeluruh, hasil paper menunjukkan berbagai tingkatan manajemen dalam organisasi yang mempengaruhi   K3 melalui berbagai cara berbeda. Collinson's (1999) menunjukkan hasil papernya bahwa semakin terlibatnya senior eksekutif dalam level operasional, akan semakin mempengaruhi tingkat K3. Dejoy et.al.(1995) menekankan bahwa untuk menciptakan budaya dan iklim K3 yang positif, melalui sikap dan tindakan manajemen yang komit terhadap meningkatkan performansi K3.
Komitmen dalam hal ini meliputi, sikap dan perilaku dalam penggunaan alat pelindung diri dan penerapan prosedur K3 terhadap semua praktek kerja. Cooper (2000) menyarankan bahwa pejabat di bidang K3 seharusnya yang senior sehingga dapat memberi contoh dan mampu mengajak pihak manajemen dan siswa calon pekerja untuk bersama-sama memperlancar  proses pelaksaan K3. Dalam hal ini dapat diukur melalui komitmen manajemen dan komunikasi K3 antar manajemen dan siswa calon pekerja. Cox et.al (1998) melaporkan bahwa komitmen manajemen merupakan faktor utama untuk dapat memprediksi perilaku K3. Grosch et al. (1999) juga menemukan bahwa komitmen manajemen terhadap K3 terkait dengan pemenuhan kebutuhan siswa. Dengan demikian kunci dari budaya atau iklim K3 yang positif terletak pada bagaimana kesepakatan antara kepentingan penerapan  K3  dalam proses produksi organisasi, yang harus didukung oleh komitmen manajemen dan partisipasi aktif seluruh siswa calon pekerja.
b.   Sistem manajemen K3
Kennedy & Kirwan (1998) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa manajemen K3 merupakan sistem dokumentasi formal untuk pengendalian potensi sumber bahaya yang beresiko kecelakaan.  HSE (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa sistem K3 seharusnya dikelola lebih efektif dari pada bidang operasional lainnya atau bidang produksi, meskipun yang tertulis akan sangat berlainan dengan praktek sehari-hari. Budaya dan iklim K3 akan mempengaruhi tingkat efektivitas pelaksanaan sistem manajemen K3, baik dari sisi sumberdaya, kebijakan, prosedur maupun secara praktis (Kennedy and Kirwan,1998).
Dimensi lainnya yang terkait erat dengan  iklim K3 diadopsi menurut Ferraro (2002) adalah persepsi terhadap sistem manajemen K3, meliputi status atau keberadaan staf komite K3, sistem perijinan kerja terkait dengan K3, kebijakan atau prosedur K3 dan peralatan pendukung K3. Termasuk apakah aturan atau prosedur K3 dipegang dengan teguh atau penuh dengan toleransi pelanggaran (Ferraro,2002). Hal senada diungkapkan oleh Flin et.al.(2000) menemukan bahwa tema secara luas yang digunakan adalah sistem K3, termasuk K3 organisasi, dan manajemen K3, meliputi komite K3, prosedur, kebijakan, dan peralatan dan teknologi K3. Status dari komite dan konselor atau advisor K3 ternyata juga memiliki pengaruh yang kuat terhadap persepsi siswa calon pekerja terhadap iklim K3. Dimana hal tersebut juga menjadi bagian dari pada audit K3. Ditemukan juga bahwa gaji bonus atau tunjangan bahaya, dalam sistem manajemen K3 akan membuat rendahnya level performansi K3 (O’Toole 2002). 
Sawacha et al. (1999) mengidentifikasikan bahwa komite K3 adalah faktor penting dalam peningkatan performansi K3. Lee and Harrison (2000) menemukan bahwa brifing secara team dan diskusi tentang K3, sangat terkait dengan sikap K3 siswa calon pekerja. Sebaliknya Rundmo et al. (1998) menemukan bahwa jeleknya sistem manajemen K3 akan dapat menurunkan keberminatan siswa calon pekerja terhadap bagaimana cara peningkatan K3, berarti juga akan menurunkan tingkat K3 secara menyeluruh. Komite K3 dapat diukur dari bagaimana pengaruhnya dan cara mempromosikan K3 dalam organisasi. Andaikata rekomendasi K3 dapat diterapkan dan dipublikasikan dengan baik di tempat kerja, maka komite tersebut akan terlihat lebih efektif dan kredibel dalam persepsi siswa calon pekerja (Cooper, 2000).
Lee and Harrison (2000) mengetengahkan bagaimana persepsi responden tentang sugesti yang dilakukan pihak manajemen, 50% menunjukkan telah memberikan sugesti tentang K3, sedangkan 22% ternyata tidak memiliki pengetahuan dan cara untuk dapat memberikan sugesti K3 kepada siswa calon pekerja. Iklim K3 diserap oleh sistem manajemen diubah menjadi pola pikir (mind set) siswa calon pekerja, meliputi bagaimana mempersepsikan tingkat resiko, sikap diri dan adopsi perilaku perlindungan diri yang terkait dengan K3 (Mearns and Flin,1995). Komitmen siswa calon pekerja terhadap K3 merupakan kekuatan produk yang dihasilkan dari sistem manajemen dan output performansi K3 itu adalah hasil yang final (Clisoid.2004).
c.   Resiko
Cheyne (1999) menemukan adanya apresiasi pribadi terhadap resiko atau bagaimana siswa calon pekerja memandang resiko yang dikaitkan dengan  praktek kerja, prioritas kebutuhan pribadi terkait dengan K3,  serta manajemen diri dan kebutuhan untuk merasa aman (need of safety), adalah yang digunakan sebagai indikator utama dalam mengukur iklim K3. Konsep resiko dalam skala iklim K3 adalah atas dasar pelaporan diri tentang pengambilan keputusan resiko, persepsi tentang resiko di tempat kerja, serta  sikap terhadap resiko dan kecelakaan kerja (Dedobbeleer and Beland,1998). Melalui angket survei. Rundmo (2000) mnenemukan bahwa persepsi emosional terhadap resiko terkait dengan sikap K3, iklim K3, dan persepsi terhadap status K3 (misalnya komunikasi dengan pihak manajemen, ketersediaan  alat pelindung diri, dan pelatihan K3) akan mendorong timbulnya penilaian untuk pengambilan keputusan tentang resiko.
Cheyne et al. (1998) dalam paper di industri manufaktur menemukan bahwa terdapat hubungan langsung antara penilaian potensi sumber bahaya beresiko tinggi di tempat kerja dengan tingkat kegiatan (perilaku dan performansi) yang berorientasi K3. Perilaku terhadap resiko berkaitan dengan sikap terhadap K3 dan iklim K3 oleh Rundmo (2000) diuji dengan cara membedakan antara aspek kognitif (tingkat kemungkinan terjadinya kecelakaan) dan aspek emosi (perasaan was-was atau aman saat memikirkan resiko) atas dasar persepsi terhadap resiko.
Prioritas manajemen terhadap K3 merupakan efek tidak langsung dari perilaku terhadap resiko. Beberapa siswa calon pekerja kelompok merasa memiliki persepsi tentang resiko dalam dunia kerjanya, ternyata  dipengaruhi oleh aspek demografi antara lain umur, pengalaman, status praktek kerja, dan faktor situasional seperti halnya kondisi tempat kerja, tekanan kerja, dan tekanan kelompok kerja (Mearns et al.,2001). Cox and Cheyne, (2000) mengindikasikan bahwa tekanan kerja akan mempengaruhi atau menimbulkan persepsi terhadap resiko yang berbeda pula.
Hasil paper Van Vuren (2000) tentang pengaruh budaya dalam resiko dan manajemen resiko di lingkungan medis, menunjukkan bahwa terdapat sikap yang lemah terhadap usaha untuk melaksanakan prosedur. Perhatian terhadap resiko dianggap memakan waktu, penggunaan alat pelindung diri tidak dianggap secara serius bahkan dianggap mengganggu atau merepotkan, siswa calon pekerja yang memiliki perhatian terhadap K3 bahkan tidak dihargai, apalagi diteladani (Dickety et al., 2002).
d.   Tekanan Kerja
 Flin et.al. (2000) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa tempat kerja (work place) kecepatan kerja (work pace), dan beban kerja (work load)  dianggap sebagai tekanan kerja (work pressure). Termasuk dalam hal ini adalah persepsi adanya konflik antara kepentingan K3 dan produktivitas kerja (Ferraro (2002).
Dyer, (2000) menemukan bahwa beban kerja yang berlebihan dari kepala sekolah akan mempengaruhi kemampuan siswa calon pekerja dalam memonitor K3. Hal ini menyebabkan tugas manajemen K3 yang seharusnya dianggap penting menjadi tidak sesuai pada tempatnya. Seperti halnya investigasi kejadian kecelakaan dan peninjauan ulang bahan beresiko tinggi.
Lee and Harrison (2000) menemukan bahwa tekanan terhadap produktivitas lebih kuat dari pada K3 yang dipersepsikan datang dari pihak manajemen bukan dari kelompok kerja atau staf K3, penemuan ini sesuai dengan pendapat Flin et.al (2000) bahwa supervisor memiliki peranan penting dalam mempengaruhi lingkungan dan tempat kerja dari pada kepala sekolah senior, sehingga perlu diteliti lagi perbedaan peranan dalam tekanan kerja antara supervisor dan kepala sekolah senior.
Pengaturan keseimbangan antara tekanan kerja dalam proses produksi dan K3 merupakan keterkaitan yang menjadi kunci utama dalam iklim K3. Tekanan tempat kerja meliputi bagaimana persepsi siswa calon pekerja yang merasa tertekan saat harus menyelesaikan tugas, terkait dengan alokasi waktu, target produktivitas, dan dukungan kondisi tempat kerja.
e.   Kompetensi
Kompetensi dalam hal ini meliputi persepsi siswa calon pekerja terhadap kualifikasi siswa calon pekerja, sikap, pengetahuan, dan keterampilan terkait dengan pengendalian dan manajemen K3 serta pelatihan yang relevan (Dyer, 2000). The advisory committee on the safety of nuclear installations (ACSNI, 1993) mengomentari tentang rendahnya pelatihan K3 serta belum  adanya materi K3 dalam pendidikan manajemen dan bisnis. Fuller (2000) menemukan bahwa para kepala sekolah memiliki pengetahuan terbatas tentang K3 terkait dengan hukum dan pertanggungjawaban. Pearson (1999) menemukan hanya 57% eksekutif organisasi yang menerima pelatihan manajemen   K3 dasar, 7% yang lain bahkan tidak sama sekali. Selain pelatihan, kompetensi dikaitkan dengan kegiatan kampanye K3, pertemuan atau penjelasan singkat, dan intensitas pemberian peringatan tentang K3, misalnya poster, label, tanda bahaya, instruksi singkat, serta informasi jika terjadi kondisi darurat.
    
C.     Performansi K3
Barlington dan Hutchison (2000) berpendapat bahwa kesehatan dan keselamatan (K3) harus dipadukan ke dalam sistem kerja berperformansi tinggi, agar sistem tersebut memotivasi orang-orang untuk memproduksi barang-barang dan pelayanan yang berkualitas dan berkuantitas, menjadi kreatif, inovatif, dan sangat aman. Tingginya performansi K3 juga terkait erat dengan sikap dan komitmen manajemen terhadap K3, perhatian individual terhadap K3 diri, dan tempat kerja yang teroganisir serta terencana dengan rapi (Barlington dan Hutchison.2000).
Kebutuhan pengukuran terhadap performansi bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan K3 di dalam organisasi (HSE, 2000). Pengusutan  terhadap kejadian kehampirgagalan (near miss occurrences) sangat bermanfaat untuk mengukur performansi   K3, dimana organisasi dapat belajar melalui umpan balik dari kejadian kesalahan (error). Dalam hal ini berupa analisis terhadap kejadian yang dianggap akan menimbulkan kecelakaan, sehingga dapat diketahui usaha antisipasi terhadap akibatnya di masa akan, dan bermanfaat bagi pembelajaran organisasi dalam peningkatan  K3  (Pidgeon, 1998).
Sawacha et al. (1999) mengkatagorikan responden apakah memiliki performansi K3 tinggi atau rendah, tergantung pada jumlah peristiwa kecelakaan yang dialaminya. Beberapa dimensi iklim K3 terukur dari hal-hal yang terkait dengan K3, misalnya data kecelakaan (Glendon and Litherland, 2001). Tingkat iklim K3 yang tinggi dihasilkan oleh rendahnya nilai rata-rata kecelakaan (Varonen and Mattila,2000).  Glendon & Mckenna (1995) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa data kecelakaan merupakan alat ukur yang kurang baik untuk mengungkapkan performansi K3.
Glendon and Litherland (2001) mengamati dan mengevaluasi secara mendalam cuplikan perilaku untuk mengukur performansi K3, termasuk dalam hal ini adalah penggunaan alat pelindung diri, atau tindakan perilaku lain yang terkait dengan proporsi praktek kerja tidak aman. Cox and Cheyne (2000) menyarankan observasi langsung terhadap siswa calon pekerja merupakan cara untuk mengidentifikasi secara wajar kejadian kecelakaan dan kehampirgagalan. Walaupun dapat dikembangkan isian (checklist) untuk mengetahui hubungan antara perilaku dengan usaha pencegahan terjadinya kecelakaan, misalnya pengecekan, penyiapan, dan kampanye penggunaan alat pelindung diri. Indikator perilaku dari pengamatan tersebut di atas, dapat digunakan untuk menyusun gambaran iklim organisasi terkait dengan performansi K3 secara menyeluruh (Cox and Cheyne, 2000).
Pengukuran performansi K3 dapat bersifat aktif (positif) maupun reaktif (negatif). Monitoring performansi K3 secara aktif dilakukan sebelum terjadi kecelakaan, dalam hal ini termasuk audit K3 dan inspeksi rutin terhadap mesin, peralatan dan lingkungan. Monitoring yang reaktif dipicu oleh adanya kejadian kecelakaan, meliputi identifikasi penyebab kecelakaan dan pelaporan kerusakan, kealpaan, kehampirgagalan, kesalahan dan penyakit akibat kerja (accident,  injury, nearmiss, error, and occupational ill health).   Performansi K3 seringkali diukur dengan metode pelaporan diri (self-report methods), karena staf di pendidikan teknologi dan kejuruan telah memahami betapa pentingnya pelaporan tentang adanya kesalahan (errors), jika tidak, maka akan menjadi masalah yang sangat serius Jianhong (2004).
Pengukuran performansi K3 secara positif tersebut di atas lebih bermanfaat untuk memahami bagaimana isu-isu yang timbul sebelum kecelakaan akan terjadi, hal ini lebih baik dari pada melakukan pengukuran yang menggunakan pendekatan reaktif atau negatif, seperti halnya nilai rerata atau tingkat kecelakaan, kerusakan, kehampirgagalan, dan kesalahan (Ferraro,2002). Dalam paper ini performansi K3 akan diungkapkan melalui aspek performansi tugas dan kontekstual, berdasarkan pengaruh dari pemaham dan niatan untuk mengikuti prosedur K3.
Pendekatan dalam paper ini, adalah menggunakan teori performansi K3 model Griffin and Neal (2000) yang diadaptasi dari Borman dan Motowidlo (1993), kemudian digunakan oleh Ferraro (2002) untuk menelusuri iklim K3 dikaitkan dengan performansi K3. Neal dan Griffin (2000), mengetengahkan model hubungan antara iklim, pengetahuan, motivasi, dan perilaku K3, merupakan bagian dari performansi K3. Iklim K3 dengan sub dimensinya adalah anteseden, pengetahuan dan motivasi adalah determinan, sedangkan perilaku yang dalam hal ini berupa safety compliance dan safety participation yang oleh Ferraro (2002) disebut sebagai task safety performance dan contextual safety performance sebagai kompenen performansi K3.
Teori Perilaku K3 (safety behavior) diadopsi menurut Ferraro (2002) meliputi iklim K3 dengan subdimensinya sebagai performansi anteseden (the antecedent of performance), pemahaman dan motivasi (the determinant of safety performance) dan komponen performansi K3 (the component of safety performance) berupa perilaku berperformansi berdasarkan tugas yang berorientasi K3 (safety task performance) dan perilaku berperformansi yang terkait dengan konteks K3 (safety contextual performance).  
Performansi anteseden (the antecedent of performance), adalah  iklim K3 yang akan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan dan motivasi atau kompetensi di tingkat organisasional dan individual, terkait terhadap performansi K3. Anteseden bersifat individual tersebut meliputi kemampuan (ability) dan pengalaman yang akan mempengaruhi komponen  berupa performansi tugas (task performance) dan karakter kepribadian yang berpengaruh terhadap performansi kontekstual (Ferraro.2002). Anteseden dan kosekuensi perilaku K3 sangat jelas posisinya dalam performansi kerja yang terkait dengan K3. Lebih lanjut hasil paper dan pengembangan model ternyata menunjukkan adanya integrasi perilaku K3 dengan efektivitas kerja atau performansi K3, sehingga dalam hal ini mengukur komponen performansi K3, sudah menggambarkan bagaimana perilaku K3 yang juga merepresentasikan berbedaan individu (Clisoid.2004).
Performansi anteseden (The antecedents of performance) diadopsi menurut Neal & Griffin (1999) adalah iklim K3 meliputi dukungan kepemimpinan dan conscientiousness yang merupakan anteseden potensial terhadap perilaku K3. Anteseden terlihat sebagai  faktor yang dapat mempengaruhi perilaku kerja sehat dan selamat, baik bersifat individual maupun environmental, setelah dimediasi dan didukung dengan  pengetahuan, keterampilan, motivasi, kemampuan, dan kepribadian (knowledge, skill, motivation,  ability, and personality). Termasuk dalam hal ini adalah kemampuan (ability), kepribadian dan iklim organisasi (Neal & Griffin 1999). Model ini yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa iklim K3 merupakan potensi anteseden utama terhadap perilaku K3.
Determinan dari performansi (The determinants of performance) menunjukkan beberapa faktor yang bertanggung jawab terhadap adanya perbedaan individu dalam berperilaku K3. Performansi determinan (the diterminant of performance)  terdiri dari tiga hal utama yaitu pengetahuan atau pemahaman tentang aturan dan prosedur, keterampilan yang relevan untuk melaksanakan prosedur, dan motivasi termasuk niatan untuk mengikuti atau melaksanakan prosedur, demikian diadopsi menurut Neal dan Griffin (2000). Pengetahuan dan keterampilan sangat diperlukan untuk pelaksanaan tugas K3 (task safety performance), sedangkan motivasi ketrampilan implisit atas dasar pengalaman lebih digunakan untuk membentuk niatan yang mendukung pelaksanaan tugas K3 (contextual safety performance). Pengetahuan dan keterampilan dapat terbentuk dari pelatihan, dan proses pembelajaran melalui umpan balik atau kejadian kecelakaan secara praktis, yang dalam modelnya Hall (2006) disebut sebagai intensi atau niatan untuk mengikuti prosedur K3.
Hal senada diketengahkan oleh Campbell et.al.(1996)  bahwa hanya ada tiga determinan perbedaan individu  dalam  performansi, yaitu pengetahuan, keterampilan dan motivasi (knowledge, skill, and motivation). Siswa calon pekerja tidak akan dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan atau peraturan pendukung K3, jika tidak memiliki  pengetahuan dan keterampilan relevan yang mencukupi, sehingga tidak akan mampu untuk berperilaku apalagi memiliki performansi baik dalam K3 sehari-hari. Begitu pula jika siswa calon pekerja tidak mempunyai motivasi diri yang memadai untuk melaksanakan atau berpartisipasi dalam kegiatan dan peraturan K3, maka mereka tidak dapat memilih atau mengambil keputusan mana perilaku yang sehat dan aman dalam bekerja serta cenderung tidak akan melakukan kegiatan partisipatif, atau bahkan menghindari kegiatan yang terkait k3. Barling and Zacharatos (1999), Hofmann & Morgeson (1999), dan Zohar (2000) mengetengahkan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu determinan terhadap performansi K3. Pemimpin memiliki peran penting dalam membentuk iklim K3 dalam organisasi dan memotivasi siswa calon pekerja agar memiliki performansi tugas yang aman dan selamat.  
Barling and Zacharatos (1999) yang kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa kepemimpinan termasuk dalam determinan K3, dimana pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk iklim K3 di dalam organisasi, dan memotivasi siswa calon pekerja untuk berperilaku atau memiliki performansi terkait K3. Motivasi dalam hal ini terdiri dari motivasi untuk berperilaku sehat dan selamat dalam bekerja dan motivasi untuk bekerja dengan nyaman (Stojanović & Zdravković.2002).
Motivasi K3 (The motive of safety), terdiri dari kemauan untuk menghindari adanya potensi sumber bahaya (hazard/danger) dalam proses kerja.  Sumber bahaya daam hal ini tidak hanya bersifat fisik, kimia atau biologis yang mengancam K3, tetapi juga yang bersifat psikologis misalnya bosan, lelah, stress, merasa bersalah, tak berguna, tak dihargai (fatique, burnout, blame, alienation etc.). Dalam hal ini tak dapat dievaluasi sekedar dengan teori keuntungan dan kerugian, tetapi lebih menekankan pada perbedaan prinsip antara psychological and physiological mechanisms sebagai bagian dari motivasi positif, misalnya untuk dapat memenangkan penghargaan K3. Ternyata terdapat perbedaan pengaruh terhadap hasil aktivitas atau perilaku dan tingkat efektivitas kerja yang dalam hal ini disebut performansi terkait dengan K3 (Stojanović & Zdravković.2002).
Motivasi kenyamanan kerja (The motive of comfort) merupakan manifestasi dari aspirasi bagaimana memilih cara termudah dan paling nyaman (paling enaknya) dalam melakukan kegiatan praktek kerja tertentu (terkait dengan task dan contextual). Cirinya adalah membutuhkan sedikit energi dan sedikit usaha psikologis (less psychological effort). Hal ini tidak selalu dapat ditempuh dengan mudah dan kadangkala bukan melalui cara yang sederhana, tetapi ternyata menjadi kebiasaan yang sangat diharapkan (Stojanović & Zdravković.2002). Kebanyakan elemen-elemen yang tidak nyaman dan tindakan atau perilaku terkait, biasanya bersifat tumpang-tindih dan dianggap kontras dengan kebiasaan yang diharapkan. Misalnya adalah penggunaan alat pelindung diri, atau mengikuti prosedur K3 dianggap sebagai hal yang mengganggu dan tidak bermanfaat, serta menimbulkan rasa tidak nyaman, walaupun secara keseluruhan sebenarnya tidak dianggap sebagai gangguan (Stojanović & Zdravković.2002).
Griffin dan Neal (2000) menemukan bahwa pengetahuan dan motivasi menjadi moderator hubungan antara iklim K3 terhadap performansi K3. Ternyata terdapat pengaruh iklim organisasi terhadap motivasi individual terkait dengan K3, dimana iklim organisasi akan mempengaruhi persepsi tentang iklim K3, kemudian iklim K3 tersebut akan berpengaruh terhadap performansi K3 setelah melalui efek dari pengetahuan dan motivasi. Begitu pula dengan peranan iklim kerja dan motivasi sangat penting bagi perilaku siswa calon pekerja. Iklim organisasi dapat diprediksi melalui pengukuran iklim K3.
Hasil papernya juga menunjukkan bahwa performansi tugas dan kontekstual juga dapat diprediksi melalui hasil pengukuran pengetahuan dan motivasi, dalam hal ini hubungan antara motivasi dan performansi tugas lebih kuat dari pada hubungan motivasi dan performansi kontekstual. Selain itu hubungan antara pengetahuan dan performansi tugas ternyata lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antara motivasi dan performansi tugas.
Griffin & Neal (2000) mengetengahkan bahwa persepsi iklim K3 dapat dijabarkan dari persepsi tentang pengetahuan dan motivasi dari pelaporan diri (self reporting) tentang safety compliance and participation, yang senada dengan performansi K3 berdasarkan tugas dan kontekstual.  Hasil paper lebih lanjut menunjukkan bahwa pengetahuan dan motivasi merupakan mediasi keterkaitan antara  iklim dan performansi K3 (safety compliance and participation). 
Berdasarkan tingkat analisis individual dan organisasional (Hayes, et.al. 1998; Hofmann & Stetzer 1996; Varonen & Mattila 2000; Zohar 2000) menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara persepsi iklim K3 dengan kompliansi K3 (safety compliance), dan berkaitan secara negatif dengan kecelakaan. Lebih lanjut berdasarkan hasil paper Griffin & Neal (2000), ternyata  perilaku kompliansi dan partisipasi K3 akan berpengaruh terhadap pengurangan kecelakaan dalam analisis kelompok kerja.
Implikasi secara praktis dari model iklim K3 dan perilaku K3 antara lain terkait dengan bagaimana pola pikir siswa calon pekerja terhadap determinan K3 (Griffin & Neal.2000). Intervensi perilaku K3 masa lalu adalah bagaimana agar siswa calon pekerja dapat meningkatkan kompliansi terhadap peraturan K3, tetapi sering menimbulkan permasalah yang disebabkan oleh sikap K3 (safety attitude). Berdasarkan hal tersebut, program K3 yang diterapkan di industri cenderung menggunakan teknik pemberian umpan balik dan insentif, agar dapat meningkatkan atau merubah secara instrumental atau valensi K3 yang non kompliansi, atau agar lebih bersifat partisipatif.  Sebaliknya diadopsi menurut  Clisoid (2004) ternyata  umpan balik dan insentif agar kompliansi terhadap K3 berjalan baik, ternyata akan menjadi resiko pengurangan valensi atau tingkat partisipasi terhadap kegiatan kontekstual K3.
Komponen performansi merupakan fungsi dari performansi determinan.  Neal dan Griffin (2000) mendefinisikan komponen performansi (component of performance) di tempat kerja, dipahami  sebagai perilaku yang dapat diobservasi langsung secara individual, sesuai dengan tujuan organisasi dalam hal ini   K3. Ferraro (2002) dan Griffin & Neal (2000) atas dasar pendapat Borman dan Motowidlo (1993) bahwa performansi ditempat kerja dapat dibagi menjadi performansi tugas (task performance) dan performansi kontekstual (contextual performance).
Performansi tugas adalah perilaku yang mempunyai kontribusi secara langsung dan tidak langsung terhadap kegiatan teknis praktek kerja yang utama terkait dengan K3. Bersumber dari proficiency atas dasar pengetahuan, keterampilan dan kemampuan (knowledge,skill, and ability), merupakan peran yang telah dideskripsikan dengan jelas, sesuai dengan proses produksi atau proses kerja industri tersebut.
 Neal dan Griffin (2000) menjelaskan performansi tugas tersebut sebagai konsep Safety Compliance, yaitu perilaku yang dibutuhkan untuk memperbaiki kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, seperti halnya penggunaan alat pelindung diri dan mengikuti prosedur K3. Performansi tugas diartikan sebagai bakat individual yang terkait dengan praktek kerja saat ini, berupa tindakan yang mendukung proses produksi secara teknis atau pelayanan kebutuhan organisasi yang utama.
Sedangkan performansi kontekstual dijelaskan sebagai  tindakan atau kegiatan yang berada disekitar praktek kerja utama, terkait dengan kegiatan organisasional atau sosial dan psikologi lingkungan, sebagai pendukung keberlangsungan kegiatan K3, namun masih memiliki sumbangan terhadap efektivitas organisasi, antara lain tidak merupakan bagian secara formal, misalnya sebagai pelengkap, pendukung, relawan  atau membantu yang lain, walaupun masih sesuai tujuan organisasi. Seperti pertemuan, promosi, menyarankan siswa calon pekerja lainnya agar lebih memperhatikan   K3 di tempat kerja. Sumber performansi ini adalah tidak hanya kompetensi (proficiency) tetapi juga terkait dengan perbedaan individu, karakteristik motivasi  dan kepribadian siswa calon pekerja. Konsep yang sama adalah Safety Participation, berupa perilaku pendukung persyaratan kerja utama, seperti halnya berbagai kegiatan yang bersifat sukarela untuk mendukung terlaksananya prosedur K3 dengan baik, misalnya pertemuan, kampanye, lomba, dan mendukung teman kerja.
     
D. Penutup
Definisi operasional masing-masing dimensi yang digunakan untuk mengetahui profil iklim K3 tersebut di atas diadopsi menurut Hall (2006) adalah sebagai berikut. Komitment pengurus sekolah, dalam hal ini bagaimana siswa calon pekerja mempersepsikan adanya komitmen pengurus sekolah terhadap K3; Sistem K3, antara lain meliputi kebijakan, prosedur, program kegiatan, peralatan pelindung diri atau pendukung K3 terkait dengan sistem manajemen K3; Resiko adalah bagaimana siswa calon pekerja dapat mengerti dan mempersepsikan adanya potensi sumber bahaya; Tekanan  kerja terdiri dari bagaimana siswa calon pekerja mempersepsikan mana yang menjadi prioritas antara produktivitas kerja dengan K3 atas tekanan pihak lain;  Kompetensi dalam hal ini terkait dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap termasuk kemampuan pengendalian diri untuk dapat melaksanakan peraturan dengan baik; Norma kelompok didefinisikan sebagai situasi dan kondisi kelompok yang dapat mempengaruhi pilihan untuk bertindak dalam rangka K3.
Clisoid (2004) menunjukan bahwa kepala sekolah cenderung berpikir tentang partisipasi seperti halnya kompliansi, sehingga dapat menjadi identifikasi dari perilaku performansi anteseden dan determinan.  Misalnya jika timbul permasalahan yang disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan keterampilan K3, maka perlu diberi tambahan pelatihan dan diutamakan dalam seleksi siswa calon pekerja. Permasalahan yang timbul oleh karena rendahnya motivasi yang terkait dengan faktor individual dan lingkungan kerja, maka perlu dicermati faktor penyebab yang lebih luas yaitu meliputi kepemimpinan dan desain kerja atau tempat kerja, selain itu juga terkait dengan sikap individu dan kepribadian. Selanjutnya jika kepala sekolah berkeinginan untuk membuat agar siswa calon pekerja setia dalam melaksanakan prosedur K3, maka perlu dievaluasi dan disusun bagaimana intervensi agar dapat mempengaruhi motivasi dan intensi untuk berperilaku partisipatif terhadap kegiatan K3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar